72 Tahun Merdeka, Apa Kabar Pendidikan Indonesia?
Kala itu, Jumat, 17 Agustus 1945,
hari yang dinanti-nantikan masyarakat Indonesia tiba. Segenap masyarakat
memenuhi pelataran rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta,
menunggu pembacaan teks proklamasi.
Matahari belum terlalu tinggi saat
Soekarno keluar dari rumahnya dan membaca teks dengan lantang melalui pengeras
suara.
Didampingi Mohammad Hatta, ia membawa
masyarakat Indonesia terlarut dalam euforia kemerdekaan setelah lebih dari tiga
setengah abad dijajah asing.
Tak terasa, kini sudah 72 tahun momen
tersebut berlalu. Masih lekat dalam ingatan, kemerdekaan berarti komitmen untuk
gerak bersama membangun negeri dalam setiap sendi kehidupan, termasuk
pendidikan.
Sayangnya, salah satu cita-cita luhur
kemerdekaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, seolah masih jauh dari ideal.
Masih banyak anak bangsa yang belum dapat mencicipi pendidikan dengan layak.
Berdasarkan data Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2016, lebih dari satu juta anak putus sekolah
pada jenjang sekolah dasar (SD) dan tak melanjutkan ke tingkat sekolah menengah
pertama (SMP).
Jika digabung antara yang tidak tamat
SD-SMP, maka ada sekitar 4,3 juta anak yang tak mengenyam pendidikan dasar
sembilan tahun.
Akibatnya, sekitar 40 persen angkatan
kerja Indonesia merupakan lulusan SD. Kondisi itu tentunya menghambat upaya
Indonesia untuk bersaing di kancah global.
Padahal, konstitusi telah menjamin
hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan sebagaimana termaktub pada
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28C.
”Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,” demikian
bunyi pasal tersebut.
Meskipun sejumlah upaya telah
dilakukan pemerintah, tampaknya perjuangan mewujudkan amanat konstitusi di
bidang pendidikan masih cukup panjang. Upaya ekstra dibutuhkan untuk memastikan
setiap warga negara meraih hak sama di sektor tersebut.
Anggaran pendidikan memang telah
dialokasikan sebesar 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN). Akan tetapi, beragam persoalan yang menghampiri dunia pendidikan seakan
terus jadi pekerjaan rumah.
Tantangan
Berdasarkan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) pada
2016, Indonesia meraih angka sebesar 0.689. Nilai tersebut menempatkan
Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah, berada di peringkat 113
dari 188 negara.
Salah satu sorotan UNDP adalah
kesenjangan pendidikan Indonesia yang lebih tinggi dari rata-rata di Asia Timur
dan Pasifik.
Kondisi di atas tentunya menjadi
tantangan bagi Indonesia dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai
agenda pembangunan dunia hingga 2030.
Utamanya, dalam meraih tujuan keempat
yaitu menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan
belajar untuk semua.
“Persoalan yang mendesak diperbaiki
dari pendidikan kita adalah akses dan juga kualitasnya,” ujar Ketua Pengurus
Tanoto Foundation, Sihol Aritonang, Kamis (27/7/2017).
Karena itu, sejak memulai kegiatan
pada 1981, Tanoto Foundation—lembaga filantropi swasta—berupaya terlibat aktif
dalam menaikkan derajat pendidikan Tanah Air.
Melalui program beasiswa, contohnya.
Lembaga itu telah memberikan lebih dari 6.000 beasiswa untuk mahasiswa di
berbagai perguruan tinggi. Hal ini salah satu upaya untuk meningkatkan angka
partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan tinggi, di mana pada 2015 hanya
berada di tingkat 33 persen.
Sementara itu, untuk meningkatkan
mutu pendidikan di wilayah pedesaan, Tanoto Foundation telah menjangkau lebih
dari 500 sekolah di pedalaman Sumatera Utara, Riau, dan Jambi melalui program
bertajuk Pelita Pendidikan.
Sihol melanjutkan, berbagai upaya
juga dilakukan pihaknya melalui pelatihan guru, pengembangan perpustakaan
sekolah, peningkatan minat serta kemampuan membaca siswa, serta peningkatan
kualitas lingkungan sekolah.
Akan tetapi, aksi itu saja tak cukup.
“Kami tidak dapat bergerak sendiri. Butuh kerja sama yang lebih kuat dari
pemerintah dan pihak swasta lainnya,” tutur Sihol.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang
dijanjikan Presiden Joko Widodo untuk terus memperbaiki kualitas pendidikan
Tanah Air.
Sebagaimana diwartakan Kompas.com,
Kamis (6/10/2016), Presiden meminta agar anggaran pendidikan dapat digunakan secara
efektif dan tepat sasaran.
“Saya minta dilakukan perombakan
besar-besaran untuk peningkatan kualitas pendidikan," tegas Presiden dalam
rapat terbatas untuk membahas penggunaan APBN saat itu.
Memperbaiki kualitas pendidikan butuh
solusi lebih dari banyak pihak, baik swasta maupun masyarakat. Semakin banyak
pihak yang bersinergi, akan semakin besar pula dampaknya bagi masa depan dunia
pendidikan Indonesia.
Sumber : kompas.com
0 komentar
Terima kasih sudah bekunjung